Blog'e Puspita Sastra Jawa 2012 :D

Lagu Dolanan

Kamis, 09 Januari 2014

cerita wayang

ANTAREJA TAKON BAPA / SUMBADRA LARUNG

Antareja adalah putera Werkudara dengan Dewi Nagagini puteri Batara Antaboga. Kini usia Antareja sudah cukup dewasa. Ia ingin mengabdi pada sudarmanya,ia ingin mengabdi pada ayahnya. Antareja berpamitan pada kakek dan Ibunya. Untuk menemui ayahnya di Indraprasta (Amarta).

Kakeknya membekali Air Prawitasari atau air kehidupan serta Aji Kawastraman.Sementara itu di taman Maduganda Kesatrian Madukara Dewi Wara Sembadra kedatangan tamu yang tak diundang. Buriswara putera Prabu Salya dari Mandaraka, tiba tiba saja sudah masuk di taman. Dewi Wara Sembadra, kaget sekali, apalagi , Dewi Wara Srikandi yang menjaga keselamatan para Istri Arjuna tidak ditempat. Dewi Wara Sembadra terus saja dirayu oleh Memang Burisrawa. sejak dahulu, sebelum Arjuna memperistri Dewi Wara Sembadra, Buriswara sudah mencintainya.

Sampai dengan hari ini pun masih mencintai. Buriswara makin lama makin kasar pada Dewi Wara Sembadra, Wara Sembadra tidak mau menanggapi. Wara Sembadra tidak mau melayani kemauan Buriswara, Ia lebih baik mati daripada tidak bisa mempertahankan kesucian wanitanya. Burisrawa menjadi brutal ,Buriswara mengeluarkan pusaka untuk menakut nakuti Dewi Wara Sembadra. Namun Dewi Wara Sembadra malah menu bruk keris itu, hingga tewas. Dewi Wara Sembadra terbunuh oleh Burisrawa.

Mengetahui Dewi Sembadra telah mati, Burisrawa menjadi ketakutan, ia segera bersembunyi di balik tanaman bunga yang gelap, ketika ada seseorang yang mendatangi tempat itu. Dewi Wara Srikandi mengetahui kematian Sembadra menjadi marah, ia mengejar pembunuhnya, karena gelap,ia tidak melihat dengan jelas, ada bayangan orang di dekat gerumbulan tanaman,Srikandi mengira mengira apakah ini patih Sucitra, dijawab oleh orang itu, ya, betul saya patih Sucitra, Srikandi terus berkata. Kok suaranya seperti Patih Surata, dan mendengar suara itu, juga orang itu membetulkan, kalau ia Patih Surata. Yakinlah Dewi Srikandi kalau ini orang luar yang baru saja membunuh Dewi Wara Sembadra. Dewi Wara Srikandi mengejar, bayangan orang tadi, dan berteriak ada maling, tetapi malingnya telah melompat pagar taman dan melarikan diri. Dewi Wara Srikandi segera memberitahukan kejadian ini kepada Arjuna dan keluarga semua.

Prabu Kresna meminta agar dapat mengetahui siapa pembunuhnya, maka Dewi Wara Sembadra harus dilarung di sungai. Dewi Wara Sembadara dilarung di sungai Yamuna. Gatutkaca ditugaskan Prabu Kresna untuk mengawasi keberadaan Dew Wara Sembadra.

Sementara itu Antareja yang sedang melakukan perjalanan lewat jalan dalam tanah, telah muncul di tengah sungai Yamuna. Sesampai diatas permukaan air, ia melihat jasad seseorang yang dilarung di sungai itu. Antareja bermaksud akan menghidupkan kembali orang tersebut. Ia segera mendekati jasad Dewi Wara Sembadra, Gatutkaca melihat ada seseorang yang menghampiri jasad Dewi Wara Sembadra, maka Gatutkaca segera menyerangnya dan terjadilah perkelahian.

Batara Narada datang memberitahu kalau keduanya masih bersaudara.Keduanya putera Werkudara. Oleh Antareja. wajah Dewi Wara Sembadra diperciki dengan air Prawitasari, Dengan kehendak Dewa, maka Dewi Wara Sembadara siuman kembali. Para keluarga senang melihat Dewi Wara Sembadra bangun kembali. Setelah siuman Dewi Wara Sembadra menceriterakan apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga ia tewas. Antareja merasa geram, ia ingin membalas kejahatan Buriswara.

Dengan bekal pusaka kakeknya, Aji Kawastrawam, Antasena berubah menjadi Dewi Wara Sembadra. Iapun pergi ke kediaman Buriswara di Kerajaan Bahlika.. Dewi Wara Sembadra palsu ingin membersihkan rambut gimbal Burisrawa yang penuh kutu. Buriswara senang sekali ketika Dewi Wara Sembadra memberi perhatian padanya.Buriswara akan memberi hadiah kalau Dewi Wara Sembadra dapat kutu tiga, Buriswara dapat sotho, kalau dapat sembilan Buriswara dapat jotos, dari Dewi Wara Sembadra. Dewi Wara Sembadra palsu mendapat sembilan kutu, maka Dewi Wara Sembadra pun menjotos Buriswara, sehingga jatuh terlentang. Buriswara terkejut karena jotosannya seperti jotosan laki laki.

Setelah melirik kebelakang tahulah kalau yang ada dibelakangnya bukan Dewi Wara Sembadra tetapi seorang laki laki yang mirip Gatutkaca.Maka terjadilah perkelahian antara Buriswara dan Antasena. Buriswara melarikan diri ketakutan, dan Antarejapun kembali ke Indraprasta. Antareja Kemudian mence ritakankan segala sesuatunya pada ayahnya, Werkudara dan saudara saudara Para Pandawa. Antareja bahagia bisa bertemu dengan ayah dan para Keluarga Pandawa.

http://caritawayang.blogspot.com

cerita wayang


Kangsa Lahir


Raja Darmaji berusaha mencari mahkota Bathara Rama, lalu pergi ke kerajaan Dwarawati. Ketika raja Darmaji datang, raja Dwarawati, Ditya Kresna sedang dihadap oleh Patih Muksamuka, Murkabumi, Muksala, Karungkala dan Gelapsara. Ditya Kresna menyapa dan bertanya maksud kedatangan Darmaji. Raja Darmaji meminta mahkota Bathara Rama yang dipakai Ditya Kresna. Namun Ditya Kresna tidak mau memberikannya, maka terjadilah perkelahian. Raja Darmaji mati karena digigit, dan putus perutnya.

Angsawati, isteri pertama Basudewa, cemburu akibat kehadiran Ugraini dan Badraini. Ia berusaha membunuh mereka namun gagal. Pada suatu malam Angsawati bertemu dengan raja Gorawangsa yang menyamar sebagai raja Basudewa. Angsawati tidak mengira bahwa yang dijumpainya adalah Basudewa palsu. Namun Angsawati menyambut dengan senang hati. Pertemuan Angsawati dengan Basudewa palsu berkepanjangan, akhirnya Angsawati hamil. Raja Basudewa sungguhan tidak mengetahui hal itu. Ia tidak mengerti bahwa isterinya hamil karena Gorawangsa. Pada bulan ketujuh, raja hendak mengadakan selamatan. Sang raja dan para pegawai istana hendak berburu ke hutan. Basusena bertugas menunggu kerajaan.

Pada suatu malam Basusena berkeliling di istana. Waktu tiba di tempat tinggal Angsawati ia mendengar suara tamu pria di kamar. Setelah dilihat, nampak bahwa pria dalam kamar itu adalah Basudewa. Setelah Basusena lama memandang, Basudewa nampak seperti raksasa. Basudewa palsu diserang, terjadilah perkelahian. Basusena mengenakan senjata, lalu Basudewa palsu berubah menjadi Gorawangsa. Raksasa Gorawangsa lari kembali ke negara Jadingkik.

Basusena kembali ke hutan, melapor peristiwa yang terjadi di istana. Dikatakannya, Angsawati berbuat serong dengan raksasa. Raja Basudewa marah, Basusena disuruh membawa Angsawati ke hutan, untuk kemudian membunuh dan mengambil hatinya. Bila hati Angsawati berbau busuk berarti bayi dalam kandungan bukan anaknya, sedangkan bila berbau harum berarti bayi itu anak Basudewa.

Basusena menjalankan perintah raja Basudewa. Angsawati dibawa ke tengah hutan dan dibunuhnya. Hatinya diambil, dan setelah dicium ternyata berbau busuk. Basusena membawa hati itu kepada sang raja. Karena hati tersebut berbau busuk, raja percaya bahwa bayi dalam kandungan bukanlah anaknya.

Bathara Wisnu, Dewi Sri dan Bathara Basuki mengelilingi dunia guna mencari titisan raja Watugunung. Diketahuinya, raja Gorawangsa adalah titisan raja Watugunung. Maka Bathara Wisnu meminta Bathara Basuki agar menitis kepada raja Basudewa, untuk mengalahkan raja Gorawangsa. Bathara Wisnu kembali ke kahyangan. Kepada Bathara Guru, ia minta ijin untuk menitis ke dunia, untuk membunuh titisan raja Watugunung. Bathara Guru memberi ijin, dan memberi tugas kepada Bathara Wisnu untuk mengadu ayah melawan anak, mengadu sesama saudara. Namun Bathara Wisnu tidak boleh ikut berperang, hanya diperkenankan terlibat dalam pembicaraan.

Bathara Wisnu menerima tugas tersebut tetapi mengajukan permintaan. Permintaan itu ialah bagi mereka yang bermusuhan supaya diperkenankan naik ke surga, supaya dirinya diperkenankan duduk di dua belah pihak, dan supaya disertai Bathara Basuki untuk bersama menitis ke dunia. Bathara Guru mengabulkan permintaan tersebut, lalu menyuruh Bathara Narada agar keberanian Wisnu dijelmakan kepada Arjuna. Sedang Bathara Wisnu diminta menjelma menjadi putra Basudewa.

Bathara Wisnu turun ke dunia bersama Dewi Sri. Senjata Cakranya dititipkan kepada awan yang dijaga dua dewa. Bathara Wisnu berpesan, bahwa senjata itu hanya boleh diambil Narayana. Selain Nayarana, tidak seorang pun berhak mengambilnya.

Raja Basudewa telah mempunyai putra. Ugraini telah melahirkan anak laki-laki berkulit putih, titisan Bathara Basuki. Anak itu diberi nama Kakrasana. Bathara Wisnu dan Dewi Sri merasuk ke jiwa raja Basudewa. Saat mereka merasuk, Basudewa bermimpi melihat matahari dan bulan. Matahari dan bulan itu kemudian bersatu.

Anak Angsawati yang dibawa raja Gorawangsa diberi nama Kangsa. Setelah dewasa Kangsa menanyakan, siapa ibunya. Gorawangsa menjelaskan bahwa ibunya bernama Angsawati, isteri Basudewa raja Mandura. Tetapi ibunya telah meninggal dunia, dibunuh oleh Basusena atas perintah raja Basudewa. Mendengar penjelasan Gorawangsa itu Kangsa ingin membalas kematian ibunya. Gorawangsa berpesan agar Kangsa menemui pamannya yang bernama Arya Prabu, adik Angsawati. Kangsa meninggalkan Jadingkik menuju ke Mandura.

Di Mandura Kangsa menemui Arya Prabu, lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Arya Prabu berjanji akan membantunya. Mereka berdua menghadap raja Basudewa yang sedang dihadap Basusena dan warga Mandura. Kangsa menyampaikan maksud kedatangannya, yakni ia akan membalas kematian ibunya. Terjadilah perkelahian antara Kangsa dengan Basusena. Basusena kalah, lalu melarikan diri. Raja Basudewa dimasukkan ke dalam penjara. Gorawangsa datang bersama pasukan raksasa. Kangsa lalu menduduki tahta kerajaan Mandura.

Basudewa berhasil melarikan diri bersama dengan Badraini yang sedang hamil dan Kakrasana yang masih kanak-kanak. Perjalanan mereka terhalang oleh Bengawan Erdura. Bathara Sakra datang menolong dan menyeberangkan mereka. Basudewa diminta mengungsi ke kademangan Widarakandang. Sang Bathara memberi tahu bahwa kelak Badraini akan melahirkan dua anak. Anak-anak itu agar diberi nama Narayana dan Endhang Panangling. Setelah berpesan, Bathara Sakra menghilang, kembali ke Kahyangan. Kedatangan Basudewa, Badraini dan Kakrasana di Widarakandhang diterima oleh demang Antagopa dan isterinya. Di Widarakandhang Badraini melahirkan seorang bayi laki-laki dan dua orang perempuan, yang berkulit hitam. Sesuai pesan Bathara Sakra, Basudewa memberi nama kedua anaknya, Nayarana dan Endhang Panangling. Sedangkan Badraini memberi nama yang seorang lagi, Sumbadra. Tiga anak itu diasuh oleh Ki Antagopa dan Ni Sagopi.

(Sumber: Kandhaning Ringgit Purwa: P.CXX-CXXVIII)
(R.S. Subalidinata)

Senin, 30 Desember 2013

cerita wayang

Nakula, Sadewa: Sosok Luhur Pribadi Kembar Pewayangan

Dua kembar dunia pewanyangan Nakula dan Sadewa adalah sosok yang unik. Meskipun secara fisik keduanya kembar identik akan tetapi keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Nakula merupakan sosok yang pendiam dan pemikir setiap hal yang dikerjakannya selalu dipahami, ditelaah, dimaknai secara mendalam dan akan menyampaikan hasil pemikirannya ketika dimintai pendapat saja. Berbeda dengan Sadewa yang cerdas, lihai dalam berbicara maupun berpendapat dan merupakan komandan yang baik dalam meningkatkan semangat senopati serta prajurit di medan laga.

Keteladanan kepemimpinan yang patut di contoh adalah kemampuan mereka memimpin Negeri Sawojajar bersama tanpa adanya perebutan tahta. Negeri Sawojajar awalnya adalah milik jin kembar bernama sapujagad dan sapulebu. Ketika bertemu dengan Nakula dan Sadewa, jin Sapujagad dan Sapulebu merasa sudah waktunya mereka beristirahat dan memilih jalan kematian karena telah bertemu dengan figur yang cocok menggantikan mereka untuk memimpin sawojajar yang memiliki tanah yang luas, aneka tanaman obat ( Nakula dan Sadewa memiliki pengetahuan tentang obat-obatan), serta paling subur diantara wilayah Negeri Amarta. Tidak hanya itu, Nakula dan Sadewa memperoleh hadiah berupa dua istana peninggalan sapujagad dan sapulebu yang luas nan megah, disekelilingnya rapi berdiri pohon sawo yang berjajar. Nakula menamai istananya sesuai nama wilayah yakni Sawojajar, kemudian Sadewa menamai istananya dengan nama Bumi Retawu.

Setia, kompak dan saling pengertian adalah sifat yang patut menjadi inspirasi kehidupan bersaudara saat ini. Mendapatkan kekuasaan, istana, tanah yang luas dan subur tidak serta merta membuat kembar bersaudara ini saling berebut untuk mendominasi satu dengan yang lain. Bahkan, wilayah Negeri Sawojajar pun tidak juga langsung dibagi dua seperti jalan pemikiran masyarakat modern sekarang. Mereka berdua memiliki visi dan misi yang jelas untuk menjadikan Negeri Sawojajar berkembang tanpa harus membagi dua, pepatah satu kapal dua nahkoda tidak berlaku bagi mereka. Di hadapan rakyatnya keduanya selalu bersinergi dan kompak dalam setiap pengambilan keputusan. Sadewa yang merasa lebih muda apabila merasa ada hal yang sulit untuk ia putuskan selalu berkonsultasi dan menyerahkannya kepada Nakula. Demikian juga Nakula yang merasa memiliki kekurangan dalam hal komunikasi maka, setiap keputusan yang diambilnya akan disampaikan oleh Sadewa kepada masyarakatnya. Sinergi antara pemikir dan peng-komunikasi yang sangat solid.

Hubungan persaudaraan yang erat juga mereka tunjukkan terhadap tiga saudara yang lain, Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Meskipun berbeda ibu, mereka berdua selalu taat dan patuh terhadap kakak-kakak mereka. Hal ini terlihat ketika Yudhistira mempertaruhkan Amarta dalam jebakan main dadu dengan kurawa, meskipun ada rasa tidak puas akan tetapi mereka menghormati keputusan Yudhistira, sekaligus sebagai hukuman karena kalah main dadu, keduanya juga ikut bersama pandawa lainnya untuk menjalani pembuangan selama 13 tahun dan penyamaran selama 2 tahun.

Kesetiaan terhadap persaudaraan juga ditunjukkan ketika Perang Bharatayuda di tegal Kurusethra. Mereka pun rela berperang bersama menghadapi paman mereka sendiri yakni kakak dari Dewi Madrim, Prabu Salya. Hingga akhirnya Prabu Salya pun meninggal dan berwasiat kepada Nakula untuk menggantikan takhta Prabu Salya di Negeri Mandraka karena Prabu Salya tidak memiliki Putra kemudian Sawojajar sepenuhnya diserahkan kepada Sadewa.

Berlanjut hingga akhir cerita Mahabharata, Nakula dan Sadewa ketika menginjak usia lanjut mereka setia untuk ikut serta bersama kakak-kakaknya dan Dewi Dropadi untuk melakukan perjalanan ke Utara mendaki tingginya Pegunungan Himalaya untuk meninggalkan duniawi setelah seluruh takhta Negeri milik Pandawa diserahkan kepada satu-satunya keturunan Pandawa yakni Parikesit cucu dari Arjuna karena seluruh keturunan Pandawa gugur waktu perang Bharatayuda. Mereka dengan penuh keteguhan hati bersama kakak-kakak mereka dan Dropadi mendaki gunung yang sangat tinggi dan terjal padahal waktu itu kesaktian seluruh pandawa telah menghilang sehingga mereka harus berjalan kaki dan membuang seluruh senjata pusaka dari para dewa.

Sekarang, bagaimana kehidupan modern sekarang ini sangatlah jauh berbeda dengan filosofi kehidupan yang dianut Nakula dan Sadewa. Berebut harta bahkan sampai saling gugat menggugat di ranah hukum padahal saudara sekandung. Nakula dan Sadewa mengajarkan serta menginspirasi kepada kita semua cara hidup bersaudara. Kisah hidup pewanyangan yang patut dicontoh oleh masyarakat masa kini dan pemimpin saat ini

cerita wayang

PETRUK DADI RATU

Petruk mengenang, bagaimana ia sampai menjadi raja.

Alkisah, tuannya, Abimanyu menderita sakit. Abimanyu adalah perantara, yang nantinya akan mewariskan dampar (tahta) Palasara, pendiri Astina, kepada Parikesit, anaknya. Bersamaan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dimilikinya, yakni wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang menjaga keberadaannya sebagai ratu, dan wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya sebagai ratu.

Ketiga wahyu itu kemudian hinggap pada diri Petruk. Ia pun akhirnya dapat menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh!. Untuk kukuh menjadi raja, ternyata ia membutuhkan damper kerajaan Astina, warisan Palasara. Petruk memerintahkan kepada kedua patihnya, Bayutinaya—titisan Anoman—dan Wisandhanu—titisan Wisanggeni, anak Arjuna--, untuk mencuri tahta Palasara itu.

Kedua utusan itu berhasil membawa pulang tahta tersebut. Prabu Wel-geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Begitu duduk, ia pun terjungkal. Ia coba lagi berulangkali. Sang Prabu akhirnya menyerah dan memperoleh bisikan melalui penasihat kerajaan bahwa supaya tidak terjungkal, ia harus memperoleh boneka yang bisa dililing (dilihat dan ditimang).
Petruk kembali menyuruh kedua utusannya, Bayutinaya dan Wisandhanu untuk mencari boneka yang dimaksud. Tanpa memperoleh rintangan yang berarti, kedua utusannya berhasil membawa boneka itu yang tak lain adalah Abimanyu yang sedang sakit.
Ketika dipangku Prabu Wel-Geduwel Beh, Abimanyu sembuh.
Dan Abimanyu berkata, "Kamu takkan bisa menduduki tahta itu, jika kamu tidak memangku aku".

"Pada saat itulah saya mengalami, bahwa saya ini hanyalah kawula. Dan saya sadar, saya akan tetap tinggal sebagai kawula, tak mungkinlah saya bisa duduk sebagai raja. Tugas saya hanyalah memangku raja, agar ia dapat menduduki tahtanya. Tuanku Abimanyu dapat duduk di tahta raja karena saya memangkunya. Jadi raja itu takkan bisa menjadi raja, kalau tidak dipangku kawula, rakyat jelata seperti saya ini", kata Petruk sambil memandang tanah datar di hadapannya.

Dulu Petruk tidak tahu, mengapa ketiga wahyu itu pergi meninggalkan tuannya dan hinggap padanya. Sekarang ia paham, wahyu sebenarnya hanya pergi untuk sementara. Ia pergi hanya untuk nitik, menengok siapakah yang memangku orang yang kedunungan (dihinggapi) wahyu. Wahyu itu tidak asal hinggap. Dia akan hinggap pada orang yang layak dihinggapi, dan orang yang layak itu haruslah orang yang dipangku Petruk, sang rakyat dan sang kawula ini. Maka setelah tahu, bahwa Petruklah yang memangku Abimanyu, wahyu itupun berhenti menitik dan ketiganya kembali kapada Abimanyu.

Di hadapan tanah datar itu, pikiran Petruk melayang lagi. Ia sedih mengingat gugurnya Abimanyu dalam Perang Bharata Yudha. Petruklah yang menggendong jenazah Abimanyu. Petruk pula yang membakar mayat Abimanyu menuju alam Mokshaya. "Saya ini hanyalah rakyat. Betapa pun hinanya diri saya, hanya saya yang bisa mengantarkan Sang Raja menuju alam kesempurnaannya. Sampai ke Moksha pun, raja itu bergantung pada kawula. Hanya rakyatlah yang dapat menyempurnakan hidup raja, bahkan ketiak ia berhadapan dengan akhiratnya", ujar Petruk.

"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates ( rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.

Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.

Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya?

"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk.

Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia….

"Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.

cerita wayang

WAHYU KAYU MANIK IMANDOYO KUMOLO SARI

Di Negeri Dwarawati menerima tamu dari negeri Trajutrisna Prabu Narakusuma yang berkeinginan mencari wahyu penguat negeri, tetapi belum selesai pembicaraannya muncul Pendeta Durna utusan dari Astina untuk meminjam kaca Paesan (cermin) milik raja Dwarawati untuk melihat dimana wahyu akan diturunkan Dewa. Keinginan Durna tak dikabulkan justru menjadi pertengkaran, yang akhirnya Pendeta Durna dan pengiringnya diusir dari Dwarawati.

Rombongan Pendeta Durna tidak kembali ke Astina, tetapi menghadap Batari Durga di kahyangan Kondowaru untuk menanyakan dimana wahyu berada. Setelah mendapat keterangan Batari Durga, Durna dan rombonganya menuju ke pertapaan Guwa Pintu tempat bersemayamnya Begawan Sukmaningrat. Sementara itu R. Sadewa dihutan bertemu seekor Harimau putih jelmaan Batara Kamajaya yang membeberkan isi teka-teki Begawan Sukmaningrat agar Sadewa mampu menebak dan memiliki wahyu yang akan diturunkan Dewa. Maka R.Sadewa pergi menuju pertapaan Guwa menghadap Begawan Sukmaningrat dan mengutarakan maksud dan tujuan ia menghadap sang Begawan.

Setelah R.Sadewa mampu menjawab teka-teki yang diajukan sang Begawan, akhirnya R.Sadewa berhak menerima wahyu tersebut setelah memberikan wahyu tersebut kepada R.Sadewa, Begawan Sukmaningrat yang ternyata Sang Hyang Wenang kembali ke Kahyangan. Dengan memiliki wahyu, R.Sadewa kembali ke Amarta namun diperjalanan ia bertemu dengan R.Sutejo yang meminta agar wahyu diberikan, tetapi dipertahankan maka terjadilah perkelahian keduanya, dan R.Sadewa melarikan diri, tetapi Pendeta Durna menghadang dan merebut wahyu yang dimiliki R.Sadewa. Dengan memiliki Wahyu dengan jalan merampas dan merebut, atas kehendak dewa Pendeta Durna menjelma menjadi seekor babi hutan dan ketika para Kurawa mencari pendeta Durna diberitahu pendeta Durna dimangsa babi hutan yang ada didepannya. Akhirnya babi hutan jelmaan Durna dikejar akan dibunuh oleh para Kurawa dan melarikan diri masuk istana Amarta untuk menyerahkan diri dan mengembalikan wahyu kepada R. Sadewa. Setelah wahyu diserahkan dan mohon ampun atas segala kesalahannya, pendeta Durna beralih rupa seperti sediakala, tetapi tiba-tiba datang Kresna yang beralih raksasa untuk merebut kembali wahyu untuk diserahkan kepada R.Sutejo. Prabu Puntadewa yang berwatak jujur sangat marah dituduh pihak Pandawa merampas wahyu yang bukan miliknya, akhirnya Puntadewa karena amarahnya membuat dirinya berubah ujud menjadi raksasa besar, namun tak ada yang kalah dan menang. Melihat situasi ini, diturunkanlah dewa ke bumi untuk melerai peperangan dua raksasa, melihat kehadiran Sang Hyang yang menjelma dan masuk ke sukma Kyai Semar yang memberitahu kepada Batara Kresna bahwa yang berhak memiliki wahyu adalah R.Sadewa karena R.Sadewalah yang mampu memenuhi syarat-syarat yang diajukan Dewa dan R.Sadewalah yang menerima langsung wahyu dari tangan dewa yang bertugas menurunkan wahyu. Melihat kekeliruannya, Prabu Kresna meminta ma’af ke pihak Pandawa, karena telah bertindak salah tanpa ditelusuri dulu kebenarannya.

Maka dengan berdiamnya wahyu di istana Amarta negeri menjadi aman, tenteram dan damai.

http://constantine23.wordpress.com/2013/09/16/lakon-wayang-part-54/

cerita wayang

Gandawardaya

Di sebuah padepokan Pring Cendani, hiduplah seorang Pendeta Sakti berparas Raksasa Naga bernama Begawan Wilawuk. Ia hidup tentram dan damai bersama putrinya yang cantik jelita bernama Jimambang, serta ketiga cucunya yaitu Gandawardaya, Gandakusuma dan Dewi Wardayawati. Ada sejarah yang harus dibeberkan oleh Jimambang kepada anak-anaknya setelah ketiganya menginjak dewasa, perihal siapa orang tua yang telah mengukir jiwa-raganya. Dikatakan bahwa orang tua dari ketiga anaknya adalah ksatria tampan dari Wukiratawu yang bernama Wijanarka atau Permadi.

Mendapat keterangan perihal orang tuanya, Raden Gandawardaya mewakili kedua adiknya berpamitan meninggalkan pertapaan Pring Gading untuk mencari ayahnya.

Namun sayang perjalanan Gandawardaya menyasar di padepokan Sokalima. Tujuan Gandawardaya untuk mencari ayahnya yang bernama Wijanarka atau Permadi tersebut dimanfaatkan oleh Pandita Durna untuk kepentingan tertentu. Di pisowanan agung, di hadapan para pembesar negeri Hastinapura, Durna dan Raja Doryudana menyusun siasat agar Gandawerdaya diaku sebagai anak dengan syarat jika dapat membunuh Janaka. Karena kepolosan dan kejujurannya, Gandawerdaya belum dapat membaca kepura-puraan serta tipu muslihat yang direncanakan, terutama oleh Durna dan Doryudana. Yang ia kabarkan kepada kedua adiknya, tanpa sepengetahuan Eyang Begawan Wilawuk dan Ibu Jimambang bahwa ia telah menemukan ayahnya yang menjadi raja di Hastinapura. Namun sebelum diperkenankan menghadap untuk diakui sebagai anak bersama kedua adiknya, Gandawardaya terlebih dahulu harus dapat membunuh Janaka yang menjadi musuh bebuyutan dari Prabu Doryudana.

Sepeninggal Gandawardaya dari Hastinapura, Durna menari-nari kegirangan seperti anak kecil. Karena apapun yang terjadi antara Gandawardaya dan Harjuna, entah mati salah satu atau mati bersama, Doryudana bersama adik-adiknya para Korawa tetap yang diuntungkan. Karena dengan demikian kekuatan Pandhawa yang akan menjadi calon lawan mereka pada perang Baratayuda mendatang telah dikurangi kekuatannya.

Walaupun Gandawardaya masih tergolong anak kemarin sore, durung ilang pupuk lempuyange, ia menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi, berkat gemblengan eyangnya, Begawan Wilawuk, sehingga ketika bertemu dengan Janaka dan berperang tanding, Janaka terdesak. Pusaka andalan Janaka, Kyai Sarutama tidak mau diperintahkan untuk membunuh Gandawardaya. Atas saran Semar Janaka meminjam senjata Cakra milik Kresna yang terkenal sebagi pusaka yang tegelan, mau membunuh siapa saja tidak pilih-pilih. Untuk itulah Janaka meminta Gandawardaya sebagai seorang ksatria untuk memberi waktu guna menyusun kekuatan.

Sementara itu Durna menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan kepentingan pribadi, dengan menemui adik Gandawardaya yang bernama Wardayawati, untuk diambil isteri. Karena ditolak, Durna sakit hati dan memberitahukan kabar palsu kepada Gandawardaya, bahwa ia memergoki kedua adiknya, Gandakusuma dan Wardayawati, sedang bercumbu. Tanpa pikir panjang, di sela waktu jeda menunggu kelanjutan perang tanding dengan Harjuna, Gandawardaya menemui kedua adiknya. Pengaruh guna desti atau kuasa kegelapan membuat Gandawardaya menjadi gelap mata. Ada getaran yang mendorong gerakan tangan untuk menarik pusaka, dan tanpa belas kasih Gandawardaya membunuh kedua adiknya.

Setelah kejadian menyedihkan tersebut, nampaknya kuasa kegelapan sedikit puas dengan hasil kerjanya. Terbukti ia mulai mengendorkan cengkeramannya kepada Gandawardaya. Anak tertua dari Jimambang tersebut mulai menangis sedhih melihat kedua adiknya telah tak bernyawa. Ia sangat menyesalkan perbuatannya. Mengapa ia begitu tega membunuh kedua adiknya yang sesungguhnya sangat ia cintai.

“Adhuh lole, lole, mengapa Wardayawati juga kamu bunuh? Seharusnya Gandakusuma saja. Lha aku terus bagaimana? Calonku sudah meninggal dunia. Eee lole, lole, ya sudah aku akan kembali kepada si Jaran kekasihku saja.

Gandawardaya sudahlah jangan bersedih, semuanya sudah terlanjur. Adikmu berdua pantas mendapat hukuman mati atas perbuatannya. Sekarang musuh utamamu telah menunggu, ayo laksanakan tugasmu untuk membunuh Janaka sebagai tanda baktimu kepada Prabu Duryodana.”

Kuasa kegelapan mulai mencengkeram lagi melalui mulut Pandita Durna. Gandawardaya bergerak seperti kilat menuju medan laga.

Namun sebelum terjadi perang tanding yang kedua, Kresna meminta senjata Cakra yang dipinjam Janaka dengan paksa, karena yang diutus menarik pusaka adalah Kyai Sarutama.

“Jangan gunakan senjata Cakra untuk membunuh Gandawardaya, engkau akan menyesal nanti. Tunggulah sebentar aku akan mencarikan lawan Gandawardaya yang sepadan,” ujar Kresna.

Kresna segera meninggalkan Harjuna untuk menjumpai Gandakusuma dan Wardayawati yang sudah terbujur kaku. Dengan pusaka andalan yang bernama Kembang Wijayakusuma, kedua insan yang tak berdosa tersebut dihidupkan. Mereka diberi penjelasan permasalahan yang sesungguhnya, bahwasanya Gandawardaya telah diperalat pandita Durna untuk membunuh mereka serta membunuh Raden Janaka, yang sesungguhnya adalah ayahnya sendiri.

“Oleh karena itu, agar segalanya cepat menjadi jernih, sekarang hadapilah kakamu dan tundukan, berilah penjelasan yang sesungguhnya,” Kresna menegaskan.

Gandakusuma mempercayai dengan sepenuh hati perkataan Batara Kresna. Setelah menghaturkan sembah kepada orang yang telah menolong jiwnya, ia bergerak cepat menghadapi Gandawardaya kakaknya.

Telah tiba waktunya kuasa kegelapan dihalau oleh kuasa terang. Gandawardaya menyerah kalah kepada adiknya, Gandakusuma. Langit menyibak terang, keduanya berangkulan mesra disusul oleh si bungsu jelita, Wardayawati. Ketiganya adalah generasi penerus pembela yang lemah dan pejuang keadilan yang pantas diandalkan di masa yang akan datang. Jika pun ia harus jatuh pada kesalahan, itu akibat dari minimnya pengalaman dalam membedakan kepura-puraan dan kepalsuan dunia yang memenuhi kehidupan bangsa dan negara.

Ketrampilan pribadi, semangat kejujuran, keberanian memerangi penyelewengan sangat dibutuhkan untuk mengangkat keterpurukan bangsa. Jika yang muda yang berpotensi malah ditunggangi dan dimanfaatkan untuk kepentingan generasi tua yang tamak dapat dipastikan bangsa ini akan semakin terpuruk.

Kresna adalah sosok manusia yang berpikiran Dewa Wisnu, ia memberi kesempatan dan kepercayaan kepada Gandakusuma generasi belia untuk menyelesaikan serta menjernihkan masalah, dan berhasil.

Maka terkuaklah sudah siapakah sesungguhnya orang tua dari ketiga remaja sakti yang lahir dari Dewi Jimambang kakaknya, yaitu Raden Janaka, alias Raden Wijanarka atau Raden Permadi.

cerita wayang



Kandihawa, Bambang
Bambang Kandihawa adalah ksatria tampan jelmaan dari Srikandi pada lakon wahyu Makutarama.

Cerita Wahyu Makutharama dimuat dalam lakon Wahyu Makutharama atau Arjuna Jelur. Isi ringkas cerita Wahyu Makutharama sebagai berikut:

Duryodana raja Ngastina duduk di atas singgasana, dihadap oleh Baladewa raja Mandura, Basukarna, Pendeta Drona, Patih Sakuni dan beberapa pegawai kerajaan Ngastina. Mereka membicarakan wahyu yang akan turun ke dunia. Raja Duryodana ingin memperoleh wahyu itu, lalu minta agar Adipati Karna bersedia mewakili untuk mencarikannya. Adipati Karna bersedia, lalu pergi bersama Patih Sakuni dan beberapa warga Korawa meninggalkan istana. Prajurit Korawa ikut mengawal perjalanan mereka.

Kresna menjadi pertapa bernama Bagawan Kesawasidi, bertempat di pertapaan Kutharunggu. Sang Bagawan dihadap oeh Anoman, Resi Maenaka, Yaksendra dan Gajah Setubanda. Adipati Karna dan Patih Sakuni datang menghadap sang Bagawan, minta Wahyu Makutharama yang sekarang ada pada Bagawan Kesawasidi. Bagawan Kesawasidi mengaku bahwa wahyu tidak ada pada dirinya. Adipati Karna tidak percaya, maka terjadilah perselisihan. Adipati Karna menyerang, tetapi dilawan oleh Yaksendra dan Yajagwreka. Bagawan Kesawasidi tidak senang melihat pertengkaran itu, maka Resi Anoman diminta melerainya. Adipati Karna melepas panah Wijayandanu, tapi panah ditangkap oleh Resi Anoman. Panah diserahkan kepada Bagawan Kesawasidi. Adipati Karna putus asa, tidak melanjutkan perkelahian. Bagawan Kesawasidi menyalahkan sikap Anoman. Resi Anoman merasa salah, lalu minta petunjuk. Resi Anoman disuruh bertapa di Kendhalisada. Resi Anoman kemudian kembali ke Kendhalisada.

Arjuna dan panakawan menjelma menjadi seorang begawan, dan sekarang ingin bersatu dengan Hyang Suksma Kawekas. Selama bersamadi ia mendapat petunjuk agar menemui Bagawan Kesawasidi. Bagawan Wibisana menghadap Bagawan Kesawasidi di Kutharunggu. Ia minta penjelasan cara mempersatukan diri dengan Hyang Suksma Kawekas. Bagawan Kesawasidi keberatan untuk menjelaskannya, lalu terjadi perkelahian. Bagawan Kesawasidi dipanah Wibisana dengan panah pemberian Ramawijaya. Seketika Bagawan Kesawasidi berubah menjadi raksasa besar dan dahsyat. Bagawan Wibisana menghormat dan minta ampun. Bagawan Kesawasidi kembali ke wujud semula, lalu bersamadi. Bagawan Wibisana ikut bersamadi. Setelah selesai, Bagawan Kesawasidi minta agar Bagawan Wibisana membuka jalan untuk air suci. Bagawan Wibisana mendapat air suci, lalu akan kembali ke sorga. Di tengah perjalanan ia melihat penderitaan suksma Kumbakarna. Suksma Kumbakarna mengganggu suksma Wibisana. Maka suksma Kumbakarna disuruh mencari Wrekodara di Marcapada.

Wrekodara mencari saudara-saudaranya. Di tengah jalan ia digoda oleh suksma Kumbakarna. Wrekodara marah, mengamuki Kumbakarna yang kadang-kadang tampak, kadang-kadang hilang. Akhirnya suksma Kumbakarna masuk ke betis Wrekodara sebelah kiri. Kemudian Wrekodara pun melanjutkan perjalanan.

Arjuna menghadap Bagawan Kesawasidi di Kutharunggu. Bagawan Kesawasidi tahu bahwa Arjunalah yang pantas ditempati Wahyu Makutharama. Bagawan Kesawasidi memberi nasihat dan menyampaikan ajaran Rama kepada Wibisana yang disebut Hasthabrata. Setelah selesai memberi wejangan dan ajaran, Bagawan Kesawasidi menyerahkan senjata Kunta kepada Arjuna. Arjuna menerima Kunta, menghormat, lalu pergi mendapatkan Karna.

Arjuna menemui Karna, menyerahkan senjata Kunta. Karna menerima senjata, kemudian berkata ingin memiliki Wahyu Makutharama. Arjuna mejelaskan makna wahyu itu, dan berkata bahwa dirinya yang memilikinya. Karna ingin merebut wahyu tersebut, maka terjadilah perkelahian di antara mereka. Karna merasa tidak mampu lalu mengundurkan diri. Arjuna kembali ke pertapaan Kutharunggu. Wrekodara telah datang menghadap Bagawan Kesawasidi. Tiba-tiba datang dua kesatria bernama Bambang Sintawaka dan Bambang Kandhihawa. Mereka ingin menaklukkan Bagawan Kesawasidi dan Arjuna. Akhirnya terjadi perang tanding. Bagawan Kesawasidi melawan Bambang Sintawaka, Arjuna melawan Bambang Kandhihawa. Bagawan Kesawasidi berubah menjadi Kresna, Bambang Sintawaka menjadi Sembadra, dan Bambang Kandihawa menjadi Srikandi.

Mereka senang dapat bertemu dan bersatu kembali, kemudian kembali ke negara, berkumpul di Ngamarta.

R.S. Subalidinata
(Sumber baca: Pakem Padhalangan Lampahan “Makutharama” Ki Siswoharsojo. Ngajogjakarta, 1962