Blog'e Puspita Sastra Jawa 2012 :D

Lagu Dolanan

Kamis, 26 Desember 2013

Budaya Jawa :D


Blencong

dijupuk saka : 


Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencongasale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. 

 Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud  Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.





KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG

Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapatcangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.

Gatholoco Bertanya

Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang, mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.

Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.

Jawaban Versi Gatholoco :

Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap  tentunya belum bisa berjalan pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya.  Semua itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaranlakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua. Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.

Makna Di Balik Ucapan Gatholoco

Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.

Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.

Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.

Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar