UNGKAPAN TRADISIONAL
Aporisma adalah kata-kata bijak orang Jawa. Kata-kata itu dirangkai
menjadi sebuah ungkapan bermakna.Karena ungkapan itu dinyatakan klise maka
dinamakan ungkapan tradisional. Pada dasarnya, ungkapan tradisional merupakan
bahasa simbolik. Di dalamnya penuh pemadatan makna.
Ungkapan tersebut dapat
dimaksed dengan unen-unen (sekedar kata-kata khusus yang dirangkai penuh makna
. Biasanya digunakan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Pernyataan
melalui gambar atau deskripsi ini akan menyebabkan ekspresi bahasa semakin
indah.
Dalam kehidupan orang Jawa, ungkapan tradisional sulit dibatasi
secara tegas. Oleh karena itu, di Jawa memang amat kaya ragam ungkapan yang
sampai saat ini belum banyak yang menggolong-golongkannya. Andaikata ada, masih
bersifat serampangan dan belum dilakukan pembahasan secra komprehensif.
Pemilik
ungkapan tradisional memang kolektif Jawa, namun yang tahu betul akan makna dan
kandungan filosofinya hanya perseorangan.
Ungkapan tersebut, adakalanya
digunakan untuk berbagai aspek kehidupan antara lain :
(1) untuk memberi petuah
kepada anak cucu, dalam hal-hal yang dianggap gawat dan amat penting selalu
disalurkan lewat ungkapan ,
(2) digunakan dalaam dunia pentas atau sastra
panggung agar dalam dialog tampak lebih berbobot. Yang penting, melalui
ungkapan saja bisa dibungkus di dalamnya dan yang memiliki tidak mudah
melupakannya
Ungkapan tradisional tidak terbatas pada peribahasa
, selain itu buku ini juga menjelaskan sifat-sifat ungkapan tradisional yaitu :
a.
Menggunakan
kalimat atau kata unik,
b.
Mengandung
kebijaksanaan hidup
c.
Menggambarkan
tindakan manusia,
d.
Menggunakan
kiasan.
Ragam
ungkapan tradisional Jawa yaitu :
a.
Paribasan
b.
Bebasan
c.
Saloka
d.
Mutira
kata atau basa edi
e.
Sindiran
f.
Isbat
Makna dan fungsi khas ungkapan tradisional, sebagai berikut :
1. Sebagai
sistem proyeksi angan-angan, misalnya : ajining dhiri ana pucuking lathi artinya
kehormatan dan kewibawaan seseorang terletak pada ujung lidahnya; begitu pula jagad
ora mung segodhong kelor, berbudi bawa leksana, digedhongana dikuncenana
wong mati mangsa wurunga;
2.
Sebagai
alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, contoh : negara mawa
tata desa mawa cara mangkat becik mulih apik;
3.
Watang
putung pinenthang;
4.
Sebagai
alat pendidikan, contoh : aja mongkag
ing pambombong aja nglokro ing payendhu;
5.
Sebagai
alat pemaksa dan pengawas norma masyarakat, misalnya : ngrusak pager ayu,
murang tata tanpa krama, aja nggege mangsa.
Dijupuk saka : buku Tradisi Lisan Jawa karya : Suwardi Endraswara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar