SEJARAH KRATON SURAKARTA
Cerita bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta Komandan pasukan Belanda J.A.B Van Hohenndorff untuk mencari lokasi ibukota kerajaan Mataram Islam yang baru. Setelah mempertimbangkan faktor fisik dan non-fisik akhirnya terpilihlah suatu desa di tepi Sungai Bengawan yang bernama desa Sala ( 1746 Masehi atau 1671 Jawa ). Sejak saat itu desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.
Kota Surakarta pada mulanya adalah wilayah kerajaan Mataram. Kota ini
bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram. Karena adanya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Mataram Islam terpecah
karena propaganda
kolonialisme Belanda. Kemudian terjadi pemecahan pusat pemerintahan
menjadi dua yaitu pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta.
Pemerintahan di Surakarta terpecah lagi karena Perjanjian Salatiga
(1767) menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran.
Pada tahun 1742, orang-orang Tionghoa
memberontak dan melawan kekuasaan Pakubuwana II yang bertahta di
Kartasura sehingga Keraton Kartasura hancur dan Pakubuwana II menyingkir
ke Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan Bantuan VOC pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dan
Kartasura berhasil direbut kembali. Sebagai ganti ibukota kerajaan yang
telah hancur maka didirikanlah Keraton Baru di Surakarta 20 km ke arah
selatan timur dari Kartasura pada 18 Februari 1745. Peristiwa ini
kemudian dianggap sebagai titik awal didirikannya kraton Kasunanan
Surakarta.
Pemberian nama Surakarta Hadiningrat
mengikuti naluri leluhur, bahwa Kerajaan Mataram yang berpusat di Karta,
kemudian ke Pleret, lalu pindah ke Wanakarta, yang kemudian diubah
namanya menjadi Kartasura. Surakarta Hadiningrat berarti harapan akan
terciptanya negara yang tata tentrem karta raharja (teratur tertib aman dan damai), serta harus disertai dengan tekad dan keberanian menghadapi segala rintangan yang menghadang (sura) untuk mewujudkan kehidupan dunia yang indah (Hadiningrat). Dengan demikian, kata “Karta” dimunculkan kembali sebagai wujud permohonan berkah dari para leluhur pendahulu dan pendirian kerajaan Mataram.
Sejarah nama kota Solo
sendiri dikarenakan daerah ini dahulu banyak ditumbuhi tanaman pohon
Sala ( sejenis pohon pinus) seperti yang tertulis dalam serat Babad
Sengkala yang disimpan di Sana Budaya Yogyakarta. Sala berasal dari
bahasa Jawa asli ( lafal bahasa jawa : Solo ) Pada akhirnya orang-orang
mengenalnya dengan nama Kota Solo.
dijupuk saka : http://tentangsolo.web.id/sejarah-singkat-kota-solo.html
dijupuk saka : http://tentangsolo.web.id/sejarah-singkat-kota-solo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar